Monday 24 March 2014

Mahfud MD

Nyapres dari PKB, Mahfud MD `Dilirik` Kiai Ternama Jatim

  • Comments 0
  • Selasa, 25 Maret 2014 08:09

Tanti Yulianingsih

Mantan Ketua MK Mahfud MD berharap akan ada mekanisme yang terhormat di PKB dalam menjaring tokoh yang akan mendapat dukungan masyarakat untuk menjadi Capres (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)


Liputan6.com, Pasuruan - Tak banyak calon presiden yang 'dilirik' oleh salah satu kiai ternama di Jawa Timur, Kiai Nawawi. Tapi salah satu calon Presiden RI Periode 2014-2019 yang diusung PKB, Mahfud MD mendapatkan perhatian khusus dari pemuka agama itu.

Hal itu tentu saja berbeda dengan para kandidat lain, yang justru berusaha mendekati pemuka agama yang merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur itu.

Perhatian dari Kiai Nawawi itu, diwujudkan dalam undangan khusus untuk Mahfud MD.

"Saya dipanggil oleh Kiai (Nawawi), untuk bicara mengenai situasi dan perkembangan politik serta prospeknya ke depan seperti apa," ujar Mahfud MD, di kediaman Kiai Nawawi, Pasuruan, Jawa Timur, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin 24 Maret 2014.

Menurut salah satu santri yang turut menyambut kedatangan mantan ketua MK itu, ada perbedaan penyambutan antara kandidat capres yang berkunjung ke pesantran salaf terbesar di Jawa Timur tersebut.

"Kalau Kiai yang ngundang, jamuan dan pertemuan digelar di kediaman, tapi kalau hadir inisiatif (kandidat) sendiri biasanya dijamu di gedung Koperasi pesantren," ungkap santri yang enggan disebut identitasnya itu.

Dalam kesempatan tersebut, pertemuan pun digelar secara tertutup, empat mata antara Mahfud MD dengan Kiai Nawawi.

"Saya juga diminta Kiai menjelaskan perspektif ke depan, perkembangan politik baik mengenai hasil pileg dan akibat hukumnya, serta dan opsi sesudah 9 April (Pileg) nanti," terang Mahfud.

Lanjut Mahfud, dirinya belum bisa mengatakan siap atau tidak maju sendiri sebagai capres dari PKB atau digandengkan dengan Prabowo, Jokowi atau capres lainnya.

"Mengenai pencapresan, ada bagian yang harus tidak saya sampaikan ke pers. Tadi kita juga membahas kaitannya dengan Prabowo, Jokowi, Aburizal, Pak Hatta. Semua kita ceritakan. Perspektif politiknya seperti apa dan kira-kira aspirasi kaum nahdliyin ke mana," terang Mahfud.

Yang pasti, sambung Mahfud, beberapa opsi tersebut bisa dilakukan jika dirinya maju di pilpres melalui kendaraan politik yaitu PKB.

"Karena meskipun saya orang NU, dan NU itu partainya ada di mana-mana, tapi saya harus lewat 1 (satu) partai yaitu PKB. Apalagi sebelumnya memang saya kader PKB," beber Mahfud.

Ia menjelaskan, melihat perkembangan situasi politik hingga detik ini, pihaknya sedang menganalisa opsi yang memungkinkan diambil.

"Bisa partai sendiri (PKB) memimpin koalisi partai-partai tengah, itu sangat mungkin. Opsi lainnya, bisa juga (PKB) koalisi dengan partai besar seperti PDIP, Gerindra, dan yang lain. Jadi, opsinya masih ada sekitar 3 sampai 4, semuanya masih terbuka," jelasnya.

Mahfud menambahkan, dirinya harus menunjukkan visi ke depan tentang bagaimana membangun bangsa dan bagaimana meletakkan aspirasi NU di bidang politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan sebagainya.

"Jadi keputusan akhir dari opsi-opsi tentu saya konsentrasikan dengan tokoh-tokoh kunci di NU, pesantren, dan semuanya. Nah itu semua masih terbuka cukup luas terhadap siapa pun. Kata Kiai Nawawi, saya diminta menjalani opsi-opsi itu dan nanti dibicarakan lagi. Pada saatnya akan istikharah bersama-sama," tandas Mahfud.

Usai menggelar pertemuan tertutup itu, Mahfud menghadiri pertemuan rutin Usaha Gabungan Terpadu Baitul Mal wa Tamwil (UGT BMT), yang merupakan koperasi milik Ponpes Sidogiri yang bergerak dibidang perbankan.

Dahlan Iskan


>>
beranda

Latest Post

Di Selo Harapan Baru Itu Terbuka

Senin, 24 Maret 2014
Manufacturing Hope 120
Tiba-tiba saya bisa tahlilan di Grobogan. Di kuburan seorang tokoh. Tidak saya sangka kalau makam tokoh itu di dekat kebun kedelai yang saya tinjau Rabu lalu: Ki Ageng Selo.
Itulah tokoh yang namanya saya pakai untuk mobil listrik generasi kedua Putra Petir: Selo. Sebuah mobil sport warna kuning yang baru dipamerkan di Universitas Atma Jaya Jakarta dan juga di Palembang sana. Nama Selo kami ambil karena ada legenda yang sudah terkenal. Bahwa Ki Ageng Selo punya kemampuan menangkap petir.
“Benarkah makamnya di Desa Selo ini?” tanya saya kepada Bupati Grobogan Bambang Pudjiono yang menyertai saya meninjau kebun kedelai unggul itu. “Saya pikir makamnya di Jogjakarta,” tambah saya.
Kalau Pak Bupati tidak menginfokan keberadaan makam ini, tentulah saya tidak akan pernah bisa “permisi” menggunakan nama beliau untuk mobil listrik kita. “Jangan-jangan karena belum pernah minta izin itulah sehingga nasib mobil listrik tidak segera jelas sampai sekarang,” gurau teman saya yang ikut ke Grobogan.
Maka, di makam Ki Ageng Selo itu, di samping tahlil, saya juga curhat (dalam hati) mengenai sulitnya prosedur mengurus mobil listrik itu di pemerintah. Padahal, negara lain sudah kian kencang saja larinya.
Hari itu saya ke Grobogan untuk dua acara: geropyokan tikus dan meninjau tanaman kedelai binaan Bank Mandiri. Berita keberhasilan teknik baru geropyokan tikus di Godean, Jogja, dulu ternyata telah menginspirasi banyak daerah untuk melakukan hal yang sama.
Maka, hari itu tim Brigade Hama PT Pupuk Indonesia menyosialisasikan cara-cara baru tersebut. Dari geropyokan tikus inilah saya menuju Desa Selo. Saya lihat tanaman kedelainya sudah mulai berbuah. Memang agak aneh di bulan Maret begini bisa tanam kedelai. Itulah tanaman kedelai di luar musim.
Ini memang hanya bisa dilakukan di daerah-daerah tertentu. Terutama yang kontur tanahnya agak tinggi. Sehingga di saat turun hujan tidak akan ada air menggenang. Pengolahan tanahnya pun sedemikian rupa sehingga air hujan bisa langsung meninggalkan lokasi.
Promotor tanaman kedelai ini adalah Adi Widjaya. Dialah putra daerah Grobogan lulusan Universitas Satya Wacana Salatiga yang memenangi lomba technopreneur Bank Mandiri.
Mikroba temuannya telah memenangkan hadiah Rp 1 miliar. Dengan syarat hadiah itu untuk pengembangan kedelai dengan menggunakan temuannya tersebut.
Adi berhasil mengumpulkan petani yang mau mencoba teknik dan pupuk yang ditemukannya. Tentu dengan benih dan pupuk yang diberikan gratis dari uang Rp 1 miliar itu. Total terkumpul sekitar 1.000 hektare tanah yang mau dipakai uji coba.
Inilah kedelai unggul yang luar biasa. Dengan menggunakan teknik baru itu, akan bisa dihasilkan 2,5 ton per hektare. Sekitar dua kali lipat dari produksi kedelai dengan cara lama.
Kalau saja semua petani kedelai menggunakan cara ini, kekurangan produksi kedelai nasional bisa diatasi. Impor kedelai bisa dikurangi secara drastis. Tanaman kedelai yang saya tinjau itu memang sangat jelas bedanya. Daunnya lebih tebal, pohonnya lebih tinggi, dan cabang-cabangnya lebih banyak.
Daun yang tebal itu berfungsi untuk penyerapan sinar matahari yang lebih maksimal. Cabang yang banyak itu berfungsi untuk menghasilkan buah kedelai yang lebih banyak.
Mengapa kedelai ini ditanam di luar musim? “Agar hasilnya bisa untuk benih yang akan ditanam di musim tanam akan datang,” ujar Adi Widjaya yang setelah lulus Satya Wacana meneruskan kuliah di Australia. “Jadi, tanaman kedelai ini bukan untuk dikonsumsi, tapi untuk benih,” tambahnya.
Tentu para petaninya beruntung. Dengan panen di luar musim, harga kedelainya sangat baik. Apalagi kualitas benihnya.
Maka, persoalan berikutnya adalah ini: maukah petani di Desa Selo itu menanam kedelai dengan teknik yang sudah mereka kuasai tersebut tanpa bantuan Bank Mandiri lagi? “Mauuuuuuu,” jawab para petani itu serentak.
Tentu saya masih khawatir dengan jawaban tersebut. Jangan-jangan hanya karena ada saya. Atau karena ada Pak Bupati Bambang Pudjiono. Maka, satu per satu saya tanya mengapa mereka mau meneruskan sendiri teknik baru itu tanpa bantuan.
“Hasilnya sudah kelihatan jelas berbeda,” ucap seorang petani yang masih muda. “Kami mau maju, Pak Menteri,” ujar yang lain.
“Niki mboten mawi bantuan malih lho. Tetep sanggup?” tanya saya. “Sangguuuuup,” kata petani serentak.
Saya tegaskan bahwa Bank Mandiri saya minta tetap memberikan dana, tapi untuk desa lain. Agar penggunaan teknik baru itu segera meluas. “Mangertooooos,” jawab mereka.
Memang, seperti dijelaskan Adi, untuk menerapkan teknik baru itu, biayanya bertambah Rp 500.000 per hektare. Tapi, hasilnya bertambah Rp 3 juta.
Inilah yang juga saya khawatirkan. Kadang, dengan alasan lagi tidak punya uang, petani mengorbankan hasil yang maksimal. Karena tidak ada uang, petani pasrah: menerima saja hasil seadanya.
Itulah sebabnya, program “yarnen” BUMN (“bayar setelah panen”) harus terus diperluas. Untuk mengatasi sikap pasrah para petani.
Tentu tidak hanya untuk kedelai. Saat ini kami juga lagi bicara dengan dua ilmuwan terkemuka kita yang hasil penemuannya belum dimanfaatkan secara memadai. Itulah topik Manufacturing Hope minggu depan. (*)
Dahlan Iskan
Menteri  BUMN